Ketika pecah perang di Pasifik pada tahun 1943, Pulau Biak menjadi salah satu tempat pertahanan bagi pasukan Dai Nippon untuk melakukan serangkaian serangan di kawasan Pasifik. Di Pulau Karang Panas – demikian julukan Pulau Biak- bercokol sekitar 11.000 orang tentara Jepang dipimpin Kolonel Naoyuke Kuzume sebagai Komandan Front Biak.

Di pulau ini, tentara Jepang tersebar ke segala penjuru dengan titik konsentrasi di pantai Parai sampai dengan Bosnik, Kecamatan Soon Biak Timur, Korem, Biak Utara, Biak Barat, bahkan sampai di Supiori. Sekitar 3.500 tentara Jepang menyebar di pantai Parai sampai Bosnik. Di Kecamatan Biak Timur tepatnya di Desa Soon ada sekitar 1.700 orang, sedangkan di Kecamatan Korem Biak Utara bertahan sekitar 1.700 orang, sementara di Kecamatan Wardo sekitar 300 orang, dan di Supiori tercatat 500 orang. Bahkan di Goa Binsari, dikenal dengan sebutan Goa Jepang, bersembunyi sekitar 3.000 orang bersamaan dengan logistik dan peralatan perangnya.

Pada tahun 1944, tentara Sekutu berhasil mendesak pertahanan tentara Jepang dalam sebuah serangan fajar dan berhasil membombardir seluruh pertahanan dan tempat-tempat persembunyian mereka di seluruh Pulau Biak, termasuk markasnya di Goa Binsari.

Akibat serangan itu, 3.000 orang yang saat itu berada di persembunyiannya dalam Goa Binsari ikut mati tertimbun reruntuhan, termasuk Kolonel Naoyuke Kuzume sang Komandan Untuk Front Biak.

Di Supiori, pada saat tentara Jepang terdesak serangan tentara Sekutu, mereka lalu melakukan tradisi kepahlawanan yakni harakiri. Akibatnya sekitar 500 orang tentara Jepang akhirnya mati di sana.

Tentara Jepang

Sampai sekarang rongsokan benda-benda peninggalan tentara sekutu dan tentara Jepang di Pulau Biak masih bisa ditemukan di sejumlah tempat, misalnya, di Biak Timur, Biak Barat dan Biak Utara serta di Sumberker Kecamatan Biak Kota.

Bisa dibayangkan, sisa-sisa peninggalan Perang Dunia II terdiri dari berbagai jenis alat-alat perang, yaitu senjata, pistol, peluru, sangkur dalam berbagai ukuran, botol-botol obat, dan sebagainya menunjukkan kesan bahwa betapa dasyatnya perang ketika itu.

Goa Binsari, menurut cerita para leluhur, sebelum ditemukan tentara Jepang yang kemudian dimanfaatkan sebagai tempat persembunyian, merupakan tempat nenek moyangnya Yusuf Rumaropen melakukan hubungaan dengan alam gaib.

Dalam Bahasa Biak, disebut Abyab Binsari. Bin artinya Perempuan dan Sari, artinya tua. Jadi Binsari artinya perempuan tua, atau nenek. Menurut cerita leluhur, konon goa itu dihuni oleh seorang nenek tua dengan kemampuan mistik berhubungan dengan roh-roh halus.

Pada beberapa sudut Goa Binsari, terdapat sumber air bersih. Goa itu setelah ditemukan tentara Jepang, kemudian dibentuk sesuai dengan kebutuhan pertahanan. Penelusuran Pembaruan bersama pengelola goa itu, didalamnya terdapat sejumlah bilik kecil sebagai tempat untuk beristirahat. Dalam Goa itu terdapat tiga ruang besar yang dibentuk tentara Jepang untuk sejumlah kepentingan, masing-masing ruang dengan fungsinya dan terhubung satu dengan lainnya. Ruang I dijadikan gudang, tempat menyimpan bahan makanan, obat-obatan, peralatan perang, dan alat-alat komunikasi. Ruang II, dijadikan tempat merawat orang sakit, dan ruang III merupakan tempat yang dikhususkan bagi para perwira untuk melakukan rapat-rapat berkaitan dengan kepentingan perang.

Kendati berada di perut bukit karang, tentara Jepang berhasil membuat dua lubang dibawah sebuah pohon yang cukup besar yang berfungsi sebagai lubang angin atau ventilasi udara, sehingga orang yang bersembunyi di dalam goa itu tidak kekurangan oksigen. Goa itu memanjang dari timur ke barat sejauh 250 meter di Desa Sumberker, Kecamatan Samofa, tiga kilo arah timur Kota Biak.

Goa itu, ketika diketahui pasukan sekutu sebagai tempat persembunyian tentara Jepang, dibombardir , dan sekitar 3.000 orang tentara Jepang yang saat itu berlindung di dalamnya mati seketika. “Mayat-mayat mereka sebagian besar tertimbun dalam goa itu,” tutur Yusuf Rumaropen.

Dinding-dinding goa itu sekarang penuh ditumbuhi lumut, bahkan telah bermunculan stalaktit, akibat proses alami di goa itu. Lebar kawah yang mengaga akibat pemboman mencapai 40 meter, sedangkan kedalamannya 25 meter.

Tempat itu dikelilingi pagar, agar pengunjung yang ke sana tidak terperosok ke lubang.

Menurut Yusuf Rumaropen, pengelola goa itu, banyak wisatawan asal Jepang yang berkunjung ke Sumberker untuk menyaksikan sisa-sisa alat-alat Perang Dunia II dan rata-rata adalah veteran Perang Dunia II, sehingga timbul niatnya untuk mengelola benda-benda itu secara baik. Apalagi goa dan peninggalan tentara Jepang dan Sekutu banyak yang berada di wilayah ulayat milik marganya.

Pada tahun 1985, ia mulai mengelolanya dengan mengumpulkan sisa-sisa alat-alat Perang Dunia II. Semuanya dikumpulkan lalu dibersihkan dan dirawat apa adanya. Kemudian setiap pengunjung yang ingin menyaksikan Goa Jepang beserta benda-benda yang ada di dalamnya dipungut bayaran. Untuk pengunjung domestik dikenakan biaya sebesar Rp 5000, sedangkan untuk wisatawan mancanegara Rp 10.000.

Usaha ini bagi Yusuf Rumaropen belum maksimal. Ia lalu meminta bantuan dana ke pemerintah daerah kabupaten Biak Numfor. Tapi tidak menampakan hasil.

Tak putus asa, Ucu-demikian ia disapa kerabatnya- lalu menghubungi relasi-relasinya untuk memohon dukungan mereka, akhirnya sedikit-demi sedikit Ucu membangun lokasi itu untuk dijadikan obyek wisata.

Memasuki kawasan Goa Binsari, ada sebuah pos penjagaan sekuriti, di sana ada petugas yang siap melayani pengunjung untuk mendapatkan karcis tanda masuk. Lalu oleh beberapa pemandu para pengunjung akan diantar berkeliling lokasi yang luasnya 200 x 200 meter persegi itu sambil menyaksikan benda-benda rongsokan peninggalan Perang Dunia ke II.

Taman

Lokasi itu dibuat menjadi sebuah taman yang dipenuhi benda-benda peninggalan perang dunia II yang sudah berkarat. Di bagian lain lokasi itu, benda-benda tersebut ditata seperti sebuah benteng pertahanan, dipajangi meriam. Baling-baling pesawat, berbagai jenis bom pesawat bahkan rongsokan bodi pesawat tempur, bodi mobil jeep wilis tak ketinggalan menghiasi taman tersebut.

Menyusuri taman, yang penuh benda-benda rongsokan itu, terdapat sebuah trotoar panjangnya 150 meter. Trotoar itu dibangun diatas sebuah bekas jalan tentara Jepang dahulu memasuki goa itu. “trotor ini dibangun oleh Pemerintah kabupaten Biak Numfor melalui dana APBD Kabupaten Biak Numfor oleh Dinas PU, ujar Ucu Rumaropen.

Di ujung trotor tersebut terdapat sebuah monumen. Pada monumen itu terdapat sebuah nisan bertuliskan huruf kanji dan tertera tahun 1956. Menurut Ucu Rumaropen, monument itu dibangun oleh keluarga-keluarga para veteran perang dunia dari Jepang. Nisan itu dibuat dari marmer dan didatangkan khusus dari Jepang, dan moonumen itu sebagai simbol untuk mengenang prajurit yang mati dan sebagai simbol untuk mengenang kekalahan tentara Jepang.

Sementara itu, disudut lain tetapi masih di lokasi yang sama terdapat sebuah pondok berukuran 2 x 3 meter yang dicat putih, pada pintunya diberi gembok. Setelah beberapa saat berhenti didepan pintu, Ucu membukakan pintu pondok itu. Di dalamnya berisi tulang-belulang tentara Jepang yang ditemukan Ucu berserakan diatas goa. Tulang-tulang itu kemudian dikumpulkan dan diatur rapi pada pondok tersebut.

Dikatakan, seluruh tulang bila digabung atau dibentuk menurut kerangkanya, maka itu ada tujuh kerangka manusia. Yang sudah terpisah-pisah antara tulang kaki dan tulang tangan, bahkan tengkoraknya sudah terpecah-pecah.

Setelah berkeliling dalam taman goa Jepang, Pembaruan dibawa ke sebuah ruangan. Di sana tertata rapi koleksi benda-benda peninggalan Perang Dunia II. Ruang itu kemudian dikenal sebagai Museum Binsari. Koleksinya, rata-rata adalah benda-benda peninggalan perang dunia II. Dan pengelolaannya belum mengenal manajemen modern. Sehingga dikerjakan secara sederhana. Koleksinya pun dibedakan atas dua bagian besar. Masing-masing adalah benda-benda peninggalan perang milik tentara Jepang dan tentara sekutu. Pada keduanya terdapat persamaan, yaitu alat-alat perang dan komunikasi, serta perlengkapan pribadi prajurit, mulai dari peralatan mandi, perlengkapan dinas, perlengkapan makan, bahkan sampai pada jarum suntik dan botol obat-obatan.

Pria kelahiran Biak 44 tahun silam ingin mengembangkan goa Jepang dan museum Binsari sebagai objek wisata yang diyakini akan sangat menarik perhatian wisatawan asing ke Biak.

Apalagi niat Rumaropen ini sejalan dengan visi dan misi Bupati Biak Numfor Yusuf Melianus Maryen, S.Sos. yang bercita-cita mengembangkan Kabupaten Biak Numfor sebagai Kota Jasa, dengan sektor andalan pariwisata. Tentu saja menjadi angin segar.

Hanya saja, Yusuf Rumaropen mengalami kendala soal dana untuk pengembangan beberapa bagian lokasi untuk menyimpan benda-benda itu agar tetap terhindar dari sengatan matahari dan guyuran hujan. Juga pembeliaan sejumlah bahan-bahan pengawet sehingga benda-benda koleksi yang ada tetap terawat.

Museum yang digunakan Yusuf dibangun oleh Pemerintah Provinsi Irian Jaya, melalui Kanwil Parpostel pada tahun 1985. Hanya saja dalam perjalannya bangunan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya. Akhirnya Yusuf memanfaatkannya untuk menyimpan benda-benda peninggalan perang.

Kerja keras Yusuf Rumaropen mengumpulkan benda-benda peninggalan perang dunia, tampaknya tidak sia-sia. Betapa tidak, pada tahun 1994 ia mendapat penghargaan dari Atase pertahanan Amerika Sertikat atas jasanya menemukan sebuah pesawat tempur sekutu yang diawaki seorang pilot asal Amerika Serikat, yaitu Letnan Frankfort di desa Soon Kecamatan Biak Timur. Bahkan pernah tahun 1999 rombongan keluarga para veteran berkunjung ke goa itu. Di sana mereka melakukan upacara sebagai tanda penghormatan kepada leluhur mereka dengan membakar tulang-tulang yang ditemukan dan membawa abunya ke Jepang. Yusuf kemudian mendapat penghargaan juga dari pemerintah Jepang atas upaya-upaya yang dilakukannya.

Niat Yusuf mengembangkan usaha ini muncul karena menyadari Perang Dunia II merupakan sejarah dunia, dan peninggalan-peninggalan itu merupakan bukti sejarah yang perlu dilestarikan. Peninggalan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran sejarah untuk anak-anak kita di masa mendatang, bahkan dari sisi lain dapat menjadikan Biak sebagai kota tujuan wisata.

Sayangnya, objek wisata ini tak terurus baik, bahkan nyaris ditinggalkan Pemerintah Daerah. Padahal objek wisata itu berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan asli daerah (PAD).

Pembaruan/Gabriel Maniagasi